Sabtu, 05 Februari 2011

PLTA URUMUKA DI YAWEI, YANG SARAT KKN

Jumpa pers 05 February, 2011
SOLIDARITAS PEMBANGUNAN PLTA SUNGAI YAWEI
PLTA URUMUKA DI YAWEI, YANG SARAT KKN

Tidak ada sejengkal Tanahpun di atas Tanah Papua yang berstatus “tanah tak bertuan” (no man land). Keterikatan masyarakat pribumi dengan tanah dan lingkungan alam memiliki berbagai implikasi baik secara sosiologis, teologis, ekonomi, hukum, dan politik sebagai satu kesatuan “unity” yang utuh dalam peradaban sejarah hidup manusia di atas tanah. Pembangunan dan modernisasi tanpa menghargai existensi sejarah hidup manusia adalah sebuah bentuk pengrusakan dan penghancuran nilai-nilai tatanan historis dan pelecehan terhadap hak-hak social budaya yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat komunitas suku. 

Tanpa mempelajari dan melakukan pemetaan peta ulayat kepemilikan suatu wilayah, pemerintah atau lembaga modern apapun jangan sembarang mau melakukan tender proyek atau aktivitas pembangunan apapun. Apa lagi memberi nama suatu wilayah tanpa mengetahui identitas dan batasan fisik dan non fisik suatu wilayah. Atas dasar hukum dan referensi apa yang digunakan Pemerintah dalam memberikan nama Sungai Urumuka?. Tidak ada nama Sungai Urumuka yang ada sungai Yawei di Kopaikabu. Ini sebuah pelecehan dan pembohongan karena arogansi kekuasaan Pemerintahan yang nyata di muka public dan rekayasa murni pemerintah yang menciptakan proyek gadungan. 

Masyarakat Mee sebagai pemilik Ulayat menolak nama Urumuka karena ini usaha pemisahan dan pengingkaran hak-hak dasar orang Papua di Tanah Suku Mee. Pembangunan apapun musti melakukan proses perencanaan secara bersama-sama dengan masyarakat pribumi setempat bukan merencanakan bersama PT. FREEPORT. Pemerintah Daerah jangan lompat pagar. Jangan mengulang rezim orde baru yang sarat dengan budaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) melalui paket pembangunan Mega Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air di Tanah suku Mee.

Dengan Pemerintah menggunakan nama sungai Urumuka untuk pembangunan PLTA, maka kami menilai pemerintah hanya mau menciptakan konflik horizontal antara masyarakat Kamoro dan Suku Mee. Pemerintah harus sadar bahwa proses pembangunan yang dipaksakan hanya karena memuluskan kepentingan kelompok tertentu dengan kedok pembangunan tentu akan menjadi toksin. Kami sebagai pemilik ulayat negeri; pemerintahan Bas Suebu yang juga anak adat berhenti berkolabarasi dengan pihak Kapitalis. Jangan menggunakan jubah kekuasaan untuk membunuh kearifan local.

Kami sudah mempelajari betapa liciknya perilaku Kaum Kapitalis yang berselingkuh dengan Kekuasaan Pemerintah yang hanya mengejar kepentingan kelompok minoritas. Bukan saatnya, kami terus dibodohi dan terus dipaksakan karena mentalitas “rakus” para elit politik, birokrat, ekonomi untuk menerima sebuah kesalahan sejarah pembangunan kapitalis sebagai sebuah kebenaran. Nyata sekali, PT. Freeport sejak 1967.

Ironisnya tanpa berkonsultasi dan mendapat pengakuan suku Mee, Dr. Jannes John Karubaba, (orang Serui) yang disaksikan oleh Barnabas Suebu, SH (orang Sentani) menjual tanah orang suku Mee untuk pembangunan PLTA di atas sungai Yawei kepada PT. Hidro China, PT. Power Indonesia pada tanggal 6 Mei 2010. Lagi pula, pihak pemerintah yang gencar saja memunculkan unek-uneknya untuk membangun mega Proyek PLTA Urumuka melalui media massa seperti yang dilansir dalam pemberitaan media massa (Cepos 21 Januri 2011, Bisnis Papua, 1 Februari 2011), yang mulai mengumbar janji Pemda Provinsi Papua akan meraup keuntungan besar 1-2 triliyun setelah berkolaborasi dengan perusahan-perusahan.

Pemerintah stop bermimpi dan menebar dusta kepada rakyat. Otonomi Khusus Papua sejak awal hingga kini saja tidak mampu diurus secara baik dan cerdas. Karena kebodohan pemerintah dalam dalam menjalankan Otonomi Khusus, maka rakyat asli Papua sudah mengembalikan OTSUS kepada pemerintah. Coba periksa diri dan kemampuan Anda sebagai aparatur pemerintah. Jangan gegabah bertindak sebelum menata Otonomi Khusus yang GAGAL. Kami menilai ini sebuah bentuk pelarian diri Pemerintah dari tanggungjawab politik yang diberikan oleh Otonomi Khusus.

Rakyat tidak bisa dibohongi dengan cara-cara Pemerintah yang belum mempersiapkan perangkat hukum yang mengakui eksistensi kepemilikan masyarakat pribumi di Tanah Suku Mee, diantaranya nama dan status sungai Urumuka diganti dengan sungai Yawei dan disahkan dalam aturan hukum yang tertulis. Dalam proses awal pembuatan MOU saja tidak ada tempat dan ruang bagi masyarakat pribumi suku Mee. Karena itu demi harga diri dan martabat orang asli Papua di Tanah Papua sebagai pemilik ulayat kami secara tegas menolak usaha pembangunan PLTA dengan nama PLTA Urumuka di Sungai Yawei-Kopaikabu.

Hormat Kami

“SOLIDARITAS PEMBANGUNAN PLTA SUNGAI YAWEI”